BERTERIAK: Reformasi demi HAM- Foto Dok panitia HAM Festival |
Reski Demas Pawai, penanggung jawab Festival HAM, menggambarkan situasi HAM Indonesia yang kian pelik. Kebebasan sipil menyusut, kekerasan berimpunitas marak di Papua, dan pengesahan KUHP yang dinilai menghambat perlindungan HAM semakin menambah daftar keluh kesah. Data Komnas HAM yang menunjukkan peningkatan 13,26% pengaduan pelanggaran HAM pada 2022 menjadi bukti nyata.
"Tragedi 1965-1966, Tanjung Priuk 1984, Semanggi II 1999, Munir 2004, Reformasi 1999 yang dikorupsi, dan Salim Kancil 2015 diangkat sebagai contoh luka lama yang belum sembuh. Penculikan Wiji Tukul pun menjadi simbol kegagalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Bulan September, bulan penuh pilu dalam sejarah Indonesia, kembali diingat sebagai catatan hitam pelanggaran HAM.." paparnya.
Namun, bukan hanya masa lalu yang dikritisi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia Capres-Cawapres menjadi 35-70 tahun pun menuai kecurigaan. Keputusan ini, yang diindikasi menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi Widodo, dinilai sarat dengan kepentingan politik dinasti. Anwar Usman, Ketua MK yang mengabulkan gugatan, juga merupakan paman Gibran. Proses pembuatan keputusan yang kontroversial, dengan Anwar Usman kerap absen dalam pembahasan, semakin menguatkan aroma nepotisme.
Tak heran, tuntutan pembubaran politik dinasti bergema kencang. Sidang Majelis Kehormatan MK yang menjatuhkan sanksi etik dan pemberhentian terhadap Anwar Usman pun disambut antusias oleh peserta aksi.
Festival HAM Samarinda bukan sekadar aksi berteriak. Diskusi tentang berbagai isu HAM, seperti pelanggaran HAM di Papua, kekerasan terhadap perempuan, dan penangkapan aktivis, menjadi forum untuk membangun kesadaran dan mencari solusi. Para peserta menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah konkret:
- Menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan adil dan transparan.
- Menghapuskan impunitas dan menegakkan hukum secara tegas terhadap pelanggaran HAM.
- Melindungi kebebasan sipil dan hak berekspresi masyarakat.
- Memastikan proses demokrasi yang bersih dan bebas dari politik dinasti.
Samarinda bergemuruh, bukan dengan amarah, melainkan dengan tuntutan keadilan dan kepedulian terhadap sesama. Aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk HAM dan demokrasi tidak pernah lekang waktu. Suara Samarinda adalah suara rakyat Indonesia yang menginginkan masa depan yang lebih adil dan bebas dari belenggu politik dinasti dan pelanggaran HAM. (AH/AR)